Kopi TIMES

Agar Pupuk Tak Langka di Tengah Pandemi

Sabtu, 06 Februari 2021 - 15:31
Agar Pupuk Tak Langka di Tengah Pandemi Dimas Bagus Aditya, Mahasiswa Universitas Airlangga dan Kepala Departemen Riset dan Keilmuan, Lingkar Prestasi, FIB, UNAIR.

TIMES PALOPO, SURABAYA – Bencana tak terduga bernama COVID-19 telah meluluhlantakkan perekonomian seluruh dunia. Salah satu dampak yang bakal dirasa cukup serius menimpa masyarakat dunia adalah ketersediaan pangan di tengah pandemi.

Berdasarkan pandangan Food and Agricultural Organization (FAO), sebuah badan organisasi pangan dunia menyebutkan bahwa krisis pangan akan berpotensi mengancam seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Meskipun Indonesia berpotensi mengalami krisis pangan, namun seolah gayung tak bersambut bahwa nasib para petani yang menjadi ujung tombak ketersediaan pangan menjerit, bahkan luntang-lantung menghadapi berbagai problematika pertanian.

Masalah pertanian semakin kompleks saat pupuk bersubsidi kian langka di pasaran. Berbagai media online dan media massa mengulik banyaknya petani yang 'menjerit' akibat pupuk bersubsidi yang tak kunjung datang menghampiri di tengah ironi pandemi COVID-19. Tak hanya pupuk bersubsidi saja yang terindikasi langka, bahkan pupuk non subsidi pun semakin langka dikarenakan para petani saling memperebutkan pupuk itu. Bukannya menghindari kelangkaan pupuk, malahan pemerintah menaikkan harga pupuk. Hal ini pun semakin mencekik petani akibat harga pupuk tak terjangkau.

Melihat Faktor Kelangkaan Pupuk Bersubsidi

Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP), Kementerian Pertanian, Sarwo Edhy, mengatakan bahwa faktor dari penyebab hilangnya pupuk bersubsidi dikarenakan terjadi pengurangan biaya anggaran pengadaan pupuk bersubsidi dibanding tahun yang lalu (baca:2019). Lebih lanjut, Sarwo Edhy mengungkapkan bahwa Kementerian Pertanian telah mengupayakan alokasi biaya pupuk sebanyak 9,1 ton tapi alokasi itu tak terpenuhi sehingga biaya anggaran pupuk pun dipangkas yakni hanya 7,9 ton.

Meskipun Kementerian Pertanian telah mengkonfirmasi penyebab utama dari kelangkaan pupuk bersubsidi itu, namun bila mengacu kepada kerangka ilmiah dalam teori ekonomi maka penyebab itu hanya sepersekian persen dari penyebab kelangkaan pupuk di pasaran.

Struktur Kelembagaan Perlu Pembenahan

Arifin (2004) menuliskan bahwa struktur kelembagaan yang menangani perpupukan di Indonesia sangatlah primitif. Dalam tulisannya, ia menemukan berbagai temuan yang mengungkapkan bahwa kinerja dan keragaman pasar (market performance) produksi pupuk diberbagai tempat masih bersifat memonopoli lapangan sehingga para penyalur memiliki hak istimewa untuk mempermainkan harga dipasaran. Tak mengherankan jikalau para petani merasa tercekik akibat permainan harga itu.

Untuk memutus permasalahan tersebut maka Kementerian Pertanian (Kementan)  mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 49 Tahun 2020 yang mana dalam peraturan itu pupuk bersubsidi dialokasikan untuk petani yang telah tergabung dalam Elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK). Melalui peraturan ini juga, Mentan mengharapkan agar para jajarannya mau berbenah diri untuk merapikan penyaluran pupuk bersubsidi dipasaran.

Meskipun memang peraturan itu telah diberlakukan, namun fakta dilapangan mengungkapkan bahwa pupuk bersubsidi masih sulit ditemukan oleh petani dipelosok Indonesia. Sehingga keefektifan adanya peraturan itupun dipertanyakan. Untuk itu diperlukan penegakan hukum terhadap oknum-oknum yang sengaja mempermainkan pupuk dilapangan.

Penegakan Hukum Secara Tegas

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 15 Tahun 2011 yang merupakan Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2005 telah menyebutkan secara implisit bahwa pupuk bersubsidi sebagai barang dalam pengawasan. Artinya, setiap penyaluran pupuk bersubsidi harus diawasi oleh aparat penegak hukum supaya tidak adanya pelibatan berbagai kepentingan yang masuk dalam kontinuitas penyaluran pupuk bersubsidi.

Namun, apakah setiap penyaluran atau pendistribusian pupuk bersubsidi telah diawasi oleh penegak hukum? Malahan yang ada pupuk bersubsidi semakin tak terjamah masyarakat akibat adanya sewenang-wenangan orang yang memiliki kepentingan itu. Melihat hal itu, tak mengherankan bahwa pupuk bersubsidi semakin lenyap di pasaran.

Seperti yang pernah diucapkan oleh Muhammad Hatta bahwa, 'Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tetapi Indonesia akan bercahaya karena lilin-lilin di desa'. Apabila lilin-lilin di desa telah dikuasai oleh orang yang punya kepentingan. Lantas, kapan lilin-lilin di desa akan bersinar?

***

*) Oleh: Dimas Bagus Aditya, Mahasiswa Universitas Airlangga dan Kepala Departemen Riset dan Keilmuan, Lingkar Prestasi, FIB, UNAIR.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

***

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Ronny Wicaksono
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Palopo just now

Welcome to TIMES Palopo

TIMES Palopo is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.